Koran Weekend

Ads 468x60px

Sabtu, 19 Januari 2013

perjalanan jurnalistik dari masa ke masa


100-440
Di zaman pemerintahan Cayus Julius Caesar di Negara Romawi, dipancangkan beberapa papan tulis di lapangan terbuka di tempat rakyat berkumpul. Papan tulis yang disebut Forum Romanum itu berisi pengumuman-pengumuman yang memuat laporan-laporan singkat tentang sidang senat dan keputusan-keputusannya. Dan juga memuat keputusan dari rapat-rapat rakyat dan berita lainnya. Dan acta diurnal merupakan alat propaganda pemerintah Romawi yang memuat berita-berita mengenai peristiwa yang perlu diketahui oleh rakyat.
1605
Di Eropa Abraham Verhoeven di Antwerpen, Belgia, mendapat izin untuk mencetak Nieuwe Tijdinghen.Dan baru pada taahun 1617 selebaran ini terbit secara teratur yaitu 8-9 hari sekali. Pada tahun 1620 sudah memakai nomor urut dan nama yang tetap Nieuwe Tijdinghen. Pada masa peralihan surat selebaran menjadi surat kabar dan isinya telah lengkap dengan segala macam peristiwa, misalnya mengenai kejadian-kejadian yang mengerikan, peristiwa pembunuhan dan perampokan.
1776
Di Indonesia sendiri jurnalistik pers mulai dikenal pada abad ke-18, tepatnya pada 1776. Ketika itu sebuah surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penguasaan orang Belanda. Pada 1776 di Jakarta, terbit surat kabar Vendu Niews yang mengutamakan diri pada berita pelelangan. Menginjak abad 19 terbit surat kabar yang masih dikelola oleh orang-orang Belanda untuk para pembaca orang Belanda atau bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda, yang hanya sklompok kecil saja.
1854
surat kabar untuk kaum pribumi mulai ada saat majalah Bianglala diterbitkan, kemudian disusul oleh Bromartani tahun 1885, keduanya di Weltevreden dan pada tahun 1856 terbit Soerat kabar Bahasa Melajoe di Surabaya.
1945
Pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan 1945, pers kita menikmati masa bulan madu. Di Jakarta dan berbagai kota bermunculan surat kabar baru. Lima tahun kemudian atau mulai 1950 pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau trompet partai-partai politik besar.
1959
Sejak Dekrit Presiden 1 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki surat izin terbit (SIT). Dan menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal kematian kebebasan pers Indonesia. Lebih parah lagi ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk pada organisasi politik atau massa. Akibat kebijakan ini, tidak kurang dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh Sembilan partai politik dan organisasi massa. Klimaksnya adalah pemberontakan PKI pada 30 September 1965 yang berhasil di tumpas oleh rakyat dan TNI serta mahasiswa.
1965
Menurut Jakob Oetama, sejak 1965 itulah terjadi perubahan besar dalam dunia jurnalistik Indonesia. Pada mulanya, perkembangan itu terjadi karena 3 hal yaitu pertama, peristiwa-peristiwa tegang yang terjadi setelah G30S/PKI. Kedua, kebebasan pers yang menjadi lebih leluasa dibandingkan dengan priode sebelumnya. Dan yang ketiga, barangkali embrio sikapprofesionalisme dalam redaksi dan pengelolaan bisnis berupa sirkulasi, iklan, serta pengelolaan keuangan.
1998
Seperti biasa, setiap kali suatu rezim tumbang, di situlah pers menikmati masa bulan madu. Kelahiran orde Reformasi sejak pukul 12.00 siang kamis 21 Mei 1998 setelah Soeharto menyerahkan jabatannya kepada wakilnya BJ Habibie, di sambut dengan penuh sukacita oleh seluruh rakyat Indonesia. Secara yuridis, UU Pokok Pers No.21/1982 pun diganti dengan UU Pokok Pers No.40/ 1999. Dengan UU dan pemerintahan baru, siapapun bisa menerbitkan dan mengelola pers. Siapapun bisa menjadi wartawan dan masuk dalam organisasi pers manapun. Tak ada lagi kewajiban hanya menginduk kepada satu organisasi pers.
2005
setelah tujuh tahun kebebasan dinikmati, dunia pers Indonesia kembali dihadapkan pada posisi dilematis, antara mempertahankan atau mengerem kebebasan yang dimiliki. Apresiasi yang tinggi dari publik terhadap era kebebasan pers saat ini, tulis Kompas, ternyata tidak membebaskan pers dari munculnya masalah baru, yakni dampak-dampak negatif dari kebebasan dan industrialisasi pers.(repro)

0 komentar:

Posting Komentar